karakteristi Lahan Basah dan Arsitektur Vernakular Lahan Basah Kalimantan Selatan


Karakteristik Lahan Basah Kalimantan Selatan
Danau panggang, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan

Lahan basah (wetland) adalah  wilayah-wilayah yang memiliki jenis tanah yang jenuh atau digenangi air. Wetland terbagi menjadi dua yaitu wetland yang permanen (menetap) dan wetland yang tidak permanen (musiman). Lahan basah dibedakan dari perairan dan juga dari tataguna lahan lainnya, berdasarkan tingginya muka air dan  tipe vegetasi yang tumbuh di atasnya. Lahan basah dicirikan oleh muka air tanah yang relatif dangkal, dekat dengan  permukaan  tanah pada waktu yang cukup lama sepanjang tahun untuk menumbuhkan hidrofita, yakni tetumbuhan yang khas tumbuh di wilayah basah.
Konverensi Ramsar (1971) menafsirkan lahan basah yang penting secara internsional yaitu: “Lahan basah adalah wilayah rawa, lahan gambut, dan air, baik alami maupun buatan, bersifat tetap atau buatan, berair ladung (stagnant, static, jenuh) atau mengalir yang bersifat payau, tawar, atau asin yang mencakup wilayah air marin yang didalamnya pada waktu surut tidak lebih dari enam meter (Dugan, 1990)”. The Convention on Wetlands of International Importance, especially as Waterfowl Habitat atau Konverensi Ramsar ialah perjanjian internasional yang didalamnya membahas pemanfaatan lahan basah secara berkelanjutan. Konverensi Ramsar dibuat dengan tujuan mengkonservasi wilayah-wilayah penyebaran lahan basah yang ada didunia dengan menjadikannya sebagai situs Ramsar. Bergabungnya Indonesia pada Konverensi Ramsar melalui Keputusan Presiden RI (kepres) NO. 48 tahun 1991, situs Ramsar yang terdapat di Indonesia diantaranya, Taman Nasionl Danau Sentarum, Kalimantan Barat dan Taman Nasional Wasur, Papua.
Di Indonesia, Sekitar 38 juta hektar atau 21% dari luas daratan di Indonesia merupakan lahan basah, luasan ini juga menjadikan Indonesia sebagai pemilik lahan basah terluas di Asia. Lahan basah tersebut sebagian besar terdapat didaratan yang memiliki alluvial rendah dan lembah-lembah sungai, muara sungai dan di daerah pesisir di hampir seluruh kepulauan di Indonesia. Penyebaran  lahan basah yang luas mengkibatkan jenis lahan basah berbeda-beda di tiap tempat dan masing-masing punya karakteristik tersendiri salah satunya Kalimantan Selatan.
Kalimantan Selatan merupakan salah satu daerah yang sebagian besar wilayahnya merupakan lahan basah yaitu berupa lahan rawa yang digenangi oleh air asin, payau atau tawar. Lahan rawa Kalimantan merupakan rawa pasang surut yang umumnya mempunyai topografi datar dan pengaruh luapan pasang surut air laut yang lebih atau sama kuat dengan luapan air sungai, yang bersifat tetap menurut peredaran bulan (Noor, 2007). Genangan di lahan rawa pasang surut hanya 1-2 meter dan berlangsung 3-4 jam, yaitu saat terjadi pasang besar (pasang purnama), kecuali daerah pinggir sungai (radius 60-100 km dari pinggir sungai). Pada kawasan rawa 98 pasang surut, luapan pasang terjadi secara berkala akibat pengaruh daya tarik antara benda-benda langit; bulan, matahari dan bumi. Dengan demikian, turun naiknya muka air/air tanah pada rawa pasang surut sudah tentu dengan siklus yang tetap.
Karakteristik flora yang tinggal di lahan basah berupa tanaman yang hidupnya membutuhkan air, akarmya dapat beradaptasi dengan daerah yang selalu tergenang seperti, eceng gondok (e. Crassipes), purun tikus (eloecharis dulcis), paku / kelakai. Karakteristik fauna yang tinggal di lahan basah  seperti buayakura-kurabiawakular, aneka jenis kodok, dan berbagai macam ikan, hingga ke ratusan jenis burung dan mamalia.

Karakteristik Arsitektur Lahan Basah
Arsitektur adalah seni dan ilmu dalam merancang bangunan, dalam arti luas arsitektur mencakup merancang dan membangun keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari level makro yaitu perancangan kota, perancangan perkotaan, arsitektur lansekap, hingga kelevel mikro yaitu desain bangunan, desain perabot dan desain produk. Pengertian arsitektur menurut para ahli. Roth (1993) mengartikan arsitektur sebagai wadah fisik untuk kegiatan manusia; Pevsner (1943) menyatakan bahwa sejarah arsitektur merupakan sejarah manusia dalam membentuk ruang; JB. Mangunwijaya, arsitektur sebagai vastuvidya (wastuwidya) yang berarti ilmu bangunan. Dalam pengertian wastu terhitung pula tata bumi, tata gedung, tata lalu lintas (dhara, harsya, yana).
Arsitektur memiliki ruang lingkup yang sangat luas. Dalam ranah ilmu arsitektur, istilah vernakular baru diperkenalkan tahun 1964 melalui karya Rudofsky yang berjudul Architecture Without Architects: a short introduction to non-pedigreed architecture. Dalam Merriam-Webster's Online, vernacular berarti bahasa ibu (native language) suatu kelompok masyarakat yang hidup di suatu tempat tertentu. Dalam konteks karya sastra, literatur vernakular berarti literatur yang menggunakan bahasa setempat sedangkan dalam konteks kebahasaan, vernakular berarti bahasa yang digunakan oleh sekelompok masyarakat di suatu tempat tertentu.

Beberapa pendapat ahli mengenai pengetian arsitektur vernakular antara lain, Brunskill ([ed.] 2000, hal. 27-28) yang menyatakan bahwa arsitektur vernakular adalah sebuah bangunan yang didesain oleh seorang amatir yang tidak pernah dilatih untuk mendesain. Pendapat lain dikemukakan oleh Oliver ([ed], 1997) yang menyatakan bahwa arsitektur vernakular sangat berkait-an dengan konteks lingkungan dan sumber daya alam setempat yang diolah dan dibangun dengan teknologi tradisional. Menurut Ladd (2003) menyatakan bahwa definisi yang paling murni dari arsitektur vernakular adalah sangat sederhana, yaitu arsitektur tanpa arsitek. Lloyd, (dalam Oliver [ed] 1997) menjelaskan arsitektur vernakular sebagai bangunan rakyat yang tumbuh sebagai respon atas kebutuhan dasar dan disesuaikan dengan kondisi lingkungan setempat. Singh (2008, hal. 10) menyatakan bahwa rumah vernakular terlahir dari material dan teknologi lokal, sangat responsif terhadap kondisi iklim, serta merefleksikan kebiasaan dan cara hidup masyarakatnya.
Beragama pendapat ahli mengenai arsitektur vernakular dapat dipahami bahwa arsitektur vernakular sudah ada tersebar luas semenjak belum dikembangkannya ilmu arsitektur. Disetiap daerah memiliki arsitektur vernakularnya sendiri dengan karakteristik dan keunikan yang berbeda pula, dari perbedaan itulah yang menghasilkan beragam pengertian pula. Meski demikian tetap merujuk kepada obyek yang sama, yaitu arsitektur yang dibangun oleh masyarakat di suatu tempat tanpa memiliki pendidikan desain secara formal. Dilihat dari fungsinya, umumnya berupa tempat tinggal atau hunian
Sebagaimana dijelaskan di atas, berkaitan dengan fungsinya, arsitektur vernakular umumnya merupakan tempat tinggal. Pengertian tempat tinggal ini merujuk pada makna fungsi, sedangkan obyeknya dapat berupa tempat berteduh sederhana (misal: tenda, pondok, gua, rumah pohon, dll), berupa rumah tinggal (individu), maupun hunian (kelompok). Mencakup pula seluruh tempat tinggal yang berada di atas pegunungan, di padang pasir, di atas air (sungai/rawa/danau, dll), hingga di atas laut.
Secara umum, masyarakat (Melayu) Banjar hidup di wilayah pesisir Pulau Kalimantan (Sellato, 1987) yang merupakan wilayah sebaran lahan basah. Lingkungan alam (habitat) ikut mempengaruhi bentuk perilaku masyarakat banjar juga menjadi simbol budaya dan kehidupan. Hal ini terlihat dari wujud fisik arsitektur dan lingkungan alam lahan basah yang sangat jelas, khususnya pada elemen dekoratif. Konsep-konsep tersebut umumnya mengambil unsur flora dan fauna yang ada di lingkungan sekitar.
Masyarakat Banjar zaman dahulu meyakini flora dan fauna memiliki khasiat untuk mengatasi berbagai masalah yang berkaitan dengan kebutuhan hidup sehari-hari maupun permasalahan yang diduga bersumber dari alam ghaib seperti sakit, bencana, dll. Masyarakat mengembangkan berbaga keyakinan untuk membangkan kepercayaan diri yang diinspirasi oleh unsur-unsur lingkungan yang ada di sekeliling mereka tersebut, yang selanjutnya dikembangkan dalam kebudayaan Banjar. Khusus unsur fauna, mengacu pada ajaran agama Islam, maka dilarang disimbolisasikan secara langsung, sehingga dalam arsitektur vernakular lahan basah unsur fauna ini diolah sedemikian sehingga memiliki makna dan cara/media pengungkapan tersendiri. Dalam pekembangannya simbol-simbol inilah yang kemudian menjadi karakteristik arsitektur vernakular lahan basah Kalimantan Selatan.

 
Motif arsitektur Banjar yang disamarkan dengan flora


Kembang cengkeh



sumber: 
http://umamalbanjari.blogspot.com/2013/03/ornamen-rumah-adat-banjar.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unsur dan Wujud Budaya Dayak Kalimantan Tengan

Lahan Basah