Unsur dan Wujud Budaya Dayak Kalimantan Tengan



Budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budia atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaianbangunan, dan karya seniBahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya, dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
                Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual, dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Unsur budaya dayak ngaju
Suku Dayak Ngaju (Biaju) adalah suku asli di Kalimantan Tengah. Suku Ngaju secara administratif merupakan suku baru yang muncul dalam sensus tahun 2000 dan merupakan 18,02% dari penduduk Kalimantan Tengah, sebelumnya suku Ngaju tergabung ke dalam suku Dayak dalam sensus 1930. Ngaju berarti udik. Suku Ngaju kebanyakan mendiami daerah aliran sungai Kapuas, Kahayan, Rungan Manuhing, Barito dan Katingan bahkan ada pula yang mendiami daerah Kalimantan Selatan.

Unsur kebudayaan suku dayak ngaju
 1.   Bahasa
Bahasa dayak sangat luas cakupannya tergantung tempat penyebaran tempat tinggal mereka, dan terbagi menjadi beberapa sub bahasa yaitu:
1. Bahasa Bidayuhik, merupakan bahasa yang dituturkan mayoritas subsuku Dayak Bakati, Kanayatn yang umumnya berdomisili di Kabupaten Landak, Bengkayang, dan Pontianak di aliran Sungai Mempawah, Sungai Landak, beserta anakannya. Tidak sulit mengenali para penutur Bidayuhik ini karena saat berbicara dengan mereka kita akan mendengar kata-kata yang diucap dengan konsonan ganda.
2. Sedangkan subsuku penutur Ibanik, misalnya Dayak Iban, Dayak Ketungau, Dayak Mualang, dan Dayak Desa yang persebarannya berada di wilayah-wilayah Kalimantan Barat bagian utara, di deretan Pegunungan Kapuas (Baik Hulu maupun Hilir) yang kadang juga dikenal sebagai Pegunungan Iban; mulai dari Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sintang, hingga Kapuas Hulu. Ciri khas bahasa ini adalah vokal [ai] di belakang suatu kata. Salah satu aliran sungai yang cukup banyak permukimannya adalah Sungai Ketungau (yang lalu menjadi nama subsuku di situ).
3.  Sedangkan bahasa Uud Danumik, adalah bahasa untuk subsuku utama Uud Danum (berarti hulu sungai) yang berdiam di Pegunungan Schawner di dekat Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya di selatan Kabupaten Sintang, yang sebagian wilayahnya dilewati Sungai Serawai. Ciri khas bahasanya adalah geseran pada beberapa konsonan seperti bunyi [s] yang dituturkan [sh]. Secara umum, buku ini menelusuri identitas orang Dayak mengenai sub suku dan bahasanya, dilihat dari perspektif mereka sendiri menamakan dirinya. Secara alfabetis, dipaparkan keberadaan keberagaman Dayak di Kalimantan Barat: 151 subsuku, 100 sub-subsuku, dan 168 bahasa Dayak. Profil dan asal mula singkat terjadinya setiap sub suku, ditampilkan dalam buku ini.
·         BahasaDayak Ngaju  di Kalimantan Tengah
·         Bahasa Kayan (18 bahasa di Kalimantan tengah, termasuk Kayan)
·         Kenyah (11 bahasa di Kalimantan tengah disebut Kenyah)
2. Sistem pengetahuan
Secara keseluruhan sistem pengetahuan orang Dayak dikaitkan dengan sistem kepercayaan mereka.  Pengetahuan tentang bertani, ilmu gaib, dan sebagainya selalu dikaitkan dengan kepercayaan terhadap roh-roh.  Kesenian mereka umumnya dibuat untuk keperluan upacara adat dalam rangka menghormati roh nenek moyang. Upacara adat yang menonjol adalah yang berkaitan dengan roh, yaitu upacara membatur dan membuntang.
Dalam studi-studi kemasyarakatan pada umumnya, sering kita temui betapa pun sederhananya suatu masyarakat pasti memiliki tradisi, nilai-nilai atau konsep-konsep budaya tertentu. Bahkan telah memusatkan perhatian mereka ke wilayah kajian ini sudah lebih awal. Dimana golongan (yang oleh kaum positivisme eropa) dulunya pernah dianggap barbaric, savage dan uncivitalized, ternyata banyak sekali menyimpan kekayaan-kekayaan dalam lumbung-lumbung kebudayaan mereka berupa pengetahuan asal (indigenuos knowledge) dan kearifan-kearifan tertentu. Misalnya saja pengetahuan rakyat tentang tanah, tetumbuhan, prilaku iklim, hama, penyakit-penyakit atau pengetahuan yang tersirat dalam syair-syair lagu, pribahasa dan cerita-cerira yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi kegenerasi. Atau pengetahuan yang dimiliki oleh para pakar lokal seperti para peracik obat-obatan, pawang hujan, pemimpin upacara-upacara suci (Ton Dietz,1998).
2.       Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial
Sistem kekerabatan orang Dayak bedasarkan prinsip imbilineal, yaitu menghitung hubungan kekerabatan untuk sebagian orang dalam mayarakat melalui laki-laki dan sebagian melalui perempuan.
Kewargaan dari suatu rumah tangga tidak statis, karena tergantung dari tempat pada waktu ia menikah. Perkawinan yang dianggap paling ideal pada orang Dayak adalah perkawinan antara dua orang bersaudara sepupu, yang kakek-kakeknya bersaudara adalah saudara kandung. Perkawinan yang dianggap sumbang adalah perkawinan antara dua sepupu yang ayah-ayahnya adalah bersaudara kandung. Orang Dayak tidak melarang gadis-gadis mereka menikah dengan laki-laki suku bangsa lain, asalkan saja laki-laki tersebut bersedia tunduk kepada adat mereka dan bersedia terus berdiam di desa mereka.
3.       Sistem peralatan hidup dan teknologi
·         Perlegkapan rumah tangga
Masyarakat Dayak dalam memenuhi barang-barang untuk kepeluan perlengkapan rumah tangganya, sejak dahulu lebih suka menggunakan bahan-bahan yang disediakan oleh alam. Cara pembuatannya pun masih tradisional. Beberapa perlatan yang mereka pergunakan diantaranya adalah rampan, karancangm inge, takin, sendok nasi, topong pamanih, nyiru, kopat, ayakan, piring, mangkok, karaatn, dulang babi, bidai dan lain-lain.
·         Senjata
Disamping perlengkapan dalam perwujudan sistem teknologi perlatan rumah tangganya, masyarkat Dayak juga sudah lama mengenal serta membuat berbagai senjata tradisional. Senjata dimaksudkan dipergunakan keperluan berburu binatang liar maupun untuk mempertahankan dari serangan binatang buas.
Mandau yakni senjata khas bagi bangsa Dayak di pulau Kalimantan. Alat ini dibuat dari lempengan besi yang ditimpa hingga berbentuk pipih-panjang seperti parang, berujung runcing menyerupai paruh yang bagian atasnya berlekuk datar. Selain itu mandau juga dilengkapi dengan sembilah pisau kecil bersarung kulit kayu yang diikat menempel pada sisi sarung dan tali pinggang dari anyaman rotan. Sumpitan yakni jenis senjata untuk berburu atau berperang. Suku Dayak Ngaju dan Maanyan menyebut senjat ini sebagai petan. Senjata ini berbentuk bulat dan berlobang di tengahnya dengan diameter kurang lebih 1 cm dan panjangnya 2 m. Besar kayu kang lebih sama dengan ibu jari kaki.
·         Rumah betang

Rumah Betang adalah rumah adat khas Kalimantan yang terdapat di berbagai penjuru Kalimantan, terutama di daerah hulu sungai yang biasanya menjadi pusat pemukiman suku Dayak, dimana sungai merupakan jalur transportasi utama bagi suku Dayak. Rumah betang Suku Dayak memiliki keunikan tersendiri. Bentuknya memanjang lurus di atas seratus meter, bertiang panggung berketinggian di atas satu meter dan beratap sirap dari kayu ulin. Di dalam rumah betang terdapat puluhan bilik dan satu bilik dihuni satu keluarga. Pintu akses ke dalam mesti melewati tangga dari bawah kolong yang terbuat dari kayu bulat dilengkapi anakan tangga demi mempermudah pijakan.
Umumnya rumah Betang di bangun dalam bentuk panggung dengan ketinggian tiga sampai lima meter dari tanah. Tingginya bangunan rumah Betang ini di perkirakan untuk menghindari datangnya banjir pada musim penghujan yang mengancam daerah-daerah di hulu sungai di Kalimantan, menghindari musuh (Ngayau) , dan binatang liar. Beberapa unit pemukiman bisa memiliki rumah Betang lebih dari satu buah tergantung dari besarnya rumah tangga anggota komunitas hunian tersebut. Setiap rumah tangga (keluarga) menempati bilik (ruangan) yang di sekat-sekat dari rumah Betang yang besar tersebut, di samping itu pada umumnya suku Dayak juga memiliki rumah-rumah tunggal yang dibangun sementara waktu untuk melakukan aktivitas perladangan, hal ini disebabkan karena jauhnya jarak antara ladang dengan tempat pemukiman penduduk.
Lebih dari bangunan untuk tempat tinggal suku dayak, sebenarnya rumah Betang adalah jantung dari struktur sosial kehidupan orang Dayak.
Budaya Betang merupakan cerminan mengenai kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari orang Dayak. Di dalam rumah Betang ini setiap kehidupan individu dalam rumah tangga dan masyarakat secara sistematis diatur melalui kesepakatan bersama yang dituangkan dalam hukum adat. Keamanan bersama, baik dari gangguan kriminal atau berbagi makanan, suka-duka maupun mobilisasi tenaga untuk mengerjakan ladang. Nilai utama yang menonjol dalam kehidupan di rumah Betang adalah nilai kebersamaan (komunalisme) di antara para warga yang menghuninya, terlepas dari perbedaan-perbedaan yang mereka miliki. Dari sini kita mengetahui bahwa suku Dayak adalah suku yang menghargai suatu perbedaan. Suku Dayak menghargai perbedaan etnik, agama ataupun latar belakang sosial.

4.       Sistem mata pencaharian hidup
Bercocok tanam di ladang adalah mata pencaharian orang Dayak. Mereka membuat ladang dengan cara menebang pohon-pohon dihutan. Batang-batang serta daun-daun dibiarkan mengering selama dua bulan, kemudian dibakar. Pada musim hujan, kira-kira bulan Oktober, mereka mulai menanam. Para laki-laki berbaris di muka sambil menusuk-nusuk tanah dengan tongkat tugalnya. Sedangkan para wanitanya berbaris dibelakang sambil memasukan beberapa butir padi ke dalam lubang yang telah dibuat kaum laki-laki.
            Selain padi, mereka juga menanam ubi kayu, ubi rambat, keladi, terong, nanas, pisang, tebu, cabe, berbagai macam labu-labuan. Pohon buah-buahan yang banyak ditanam diladang ialah durian, cempedak, dan pinang. Setelah ladang dipanen beberapa kali tanah mulai tandus. Sebelum meninggalkan tanah tersebut, mereka menanam pohon karet untuk diambil hasilnya kelak.
5.       Sistem religi

Sebagaian besar penduduk Kalimantan adalah suku Dayak. Hingga kini suku bangsa ini masih dominan di wilayah Kalimantan walaupun keberadaan hidup mereka lebih banyak tinggal di pedalaman, suku bangsa inilah yang pertama kali mendiami wilayah Pulau Kalimantan. Sistem religi yang mereka lakukan disebut kaharingan. Di Kalimantan Tengah khususnya suku Dayak Ngaju juga melakukan hal yang sama. Mereka juga mengenal suatu sistem keyakinan yang disebut keprcayaan Ngaju.
1. Kaharingan
Kaharingan lebih dikenal sebagai keyakinan orang Dayak Zaman dahulu. Demikian lekatnya kepercayaan ini dibuat mereka sehingga seolah-olah sebagai agama asli mereka. Sebenarnya tidak semua masyarakat Dayak menamakan kepercayaan mereka itu dengan kaharingan. Ada yang menyebut kepercayaan semacam itu dengan istilah agama helu yang artinya agama zaman dahulu. Ada pula yang menyebutkan kepercayaan yang mereka lakukan sebagai agama dusun, bahkan kadang-kadang ada yang memakai kepercayaan mereka itu dengan sebutan ” Agama Dayak”. Namun demikian dari sekian banyak istilah kepercayaan suku bangsa Dayak tersebut, kharinganlah yang paling umum dipakai. Sebutan kharingan sendiri diambil dari kata ”danum kararinganlah” yang berarti ” air kehidupan” (Koentjaraningrat, 1990; 137)
Kaharingan mengajarkan kepada masyrakat penganutnya, dalam hal ini suku bangsa Dayak , untuk menghormati arwah nenek moyang. Mereka menganggap bahwa arwah nenek moyang itu selalu memperhatikan serta melindungi anak cucunya yang masih hidup didunia.
2. Ngaju
Ngaju adalah suatu kepercayaan semacam kaharingan bagi masyarakat Dayak Ngaju. Kepercayaan Ngaju mengajarkan bahwa agama tidak lain berasal dari alam manusia yang dirahmati, karena itu sejarah agama sama dengan sejarah manusia. Hal ini bukan berarti bahwa agama bagi orang Dayak hanya merupakan fantasi, lebih dari itu apa yang mereka anut adalah suatu kenyataan yang berdasarkan natur komunitas dan lambang-lambang totentik yang merupakan asal-usul dari mana mereka hidup.
Upacara-upacara yang terdapat pada orang Dayak dapat diuraikan sebagai beikut : 
·         Upacara keagamaan terhadap roh nenek moyang dan mahluk halus yang menempati alam sekelilingnya 
·         Upacara menyambut kelahiran anak 
·         Upacara memotong rambut bayi 
·         Upacara penguburan mayat 
·         Upacara pembakaran mayat
Jika orang Dayak meninggal, mayatnya dikubur dulu dalam sebuah peti mayat yang terbuat dari kayu berbentuk perahu lesung. Kuburan ini dianggap sebagai kuburan sementara sebelum mayat dibakar dalam suatu upacara terpenting bagi orang Dayak, yaitu upacara pembakaran mayat secara besar-besaran. Pada upacara ini tulang-belulang semua orang sekerabat yang telah  meninggal, digali kemudian  dibakar dan abunya  ditempatkan  pada tempat pemakaman berupa bangunan (tambak).     
6.       Kesenian
·         Seni Sastra
Perkembangan seni sastra di daerah Kalimantan masih agak kurang tetapi salah satu unsur seni sastra yang berkembang di masyarakat Dayak pada umumnya adalah sejenis foklore (cerita rakyat) yang diwariskan pada generasi berikutnya secara turun-temurun juga pepatah-pepatah, peribahasa serta teka-teki masih banyak mereka miliki dan hidup sampai sekarang walaupun semuanya bersifat lisan.
Selain seni sastra yang telah disebutkan di atas, dalam upacara-upacara masyarakat Dayak terdapat juga syair-syair dan doa kepada para dewa yang dilagukan. Dalam upacara masyarakat Dayak terdapat unsur-unsur seni seperti seni musik, seni sastra, seni tari, seni lukis, dan lain-lain. Kesemuanya tergabung menjadi satu rangkaian yang tidak dapat dipisah-pisahkan karena satu sama lain saling berkaitan. Misalnya pada upacara-upacara Naik Dango, Gawai di Kalimantan Barat, Upacara Erau Padi,, Pesisi, Unding, Ne Ngelau,  Ngeldum Pelas Tanah, Ayau/ Mamat, Lemifa, Lemalig di Kalimantan Timur.
·         Seni Rupa
Peninggalan seni rupa pada masyarakat Dayak ada beberapa jenis yaitu seni arsitektur, seni pahat, seni ukir, seni lukis, dan seni kerajinan,. Dalam masyarakat Dayak seni arsitektur dapat dilihat pada bangunan-bangunan rumah panjang (rumah betang ) yang mempunyai ciri-ciri dan seni tersendiri. Walaupun sebenarnya bentuk bangunan pada rumah-rumah panjang tersebut belum dapat dikatakan sebagi suatu seni arsitektur yang sesungguhnya, tetapi masih dapat dikategorikan dalam pengertian seni arsitektur yang masih sederhana.
Seni ukir masyarakat Dayak dapat kita lihat pada gagang mandau dan sarung tanking yang merupakan alat-alat persenjataan mereka. Biasanya ukiran pada gagang mandau menyerupai kepala naga sedangkan ukiran pada sarung tangkin berbentuk kelopak bunga dengan sisinya bermotif pilin berganda dan salur daun. Suku bangsa dayak pada umumnya mengenal dua macam pola seni ukir, yaitu seni ukir timbul yang disebut dalam bahasa Kenyah kalung ugeng dan seni ukir tengelam disebut kaluking. Pola seni ukir mereka juga sudah berbentuk khusus seperti pola arwah-arwah, pola roh-roh sakti, dan pola kembang. Pola-pola seni ukiran ini dapat kita jumpai juga pada pakaian wanita Dayak, hiasan-hiasan dinding ( ornamen ), alat-alat rumah tangga dan lain-lain. Di Kalimantan tengah seni ukiran juga berkembang dengan motif-motif seperti pakpusu, pucuk rebung, tanaman menjalar ( bajakan elek ), motif burung enggang, ular, balanga dan berbagai jenis buah.
Seni lukis tradisional pada khususnya dan seni tradisional pada umumnya pada masyarakat Dayak berguna untuk upacara keagamaan. Bentuk kesenian ini harus mengabdi kepada makhluk halus. Sebagai contoh, lukisan pada dinding rumah atau lukisan pada tubuh seseorang pada umumnya berfungsi untuk mencari persahabatan dengan makhluk halus yang berada diluar manusia itu, sehingga dapat mendatangkan pengaruh magis yang menambah kekuatan manusia atau mendatangkan ketentraman keluarga penghuni rumah tersebut. Dengan demikian dikatakan bahwa kesenian tradisional pada umumnya dan seni lukis pada khususnya mengandung arti simbolik untuk menggambarkan sesuatu.
Naga dianggap sebagai binatang keramat sedangkan burung enggang dan ruai dianggap sebagai raja dari burung bahkan menurut penuturan para informan bahwa burung enggang itu dulunya manusia. Oleh karena itu maka jenis berbagai  binatang tersebut dilukiskan pada pakaian dan berbagai perlengkapan peralatan rumah tangga.
Bentuk tumbuh-tumbuhan yang biasanya dijadikan lukisan pada pakaian adalah tumbuhan dari jenis akar (baraaran). Namun bentuk lukisan yang mengambil bentuk dari tumbuhan akar disebut ”karawit baraaran”. Jenis akar yang mempunyai arti penting dalam kehidupan terutama yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat Dayak. Akar ini merupakan satu-satunya akar yang sangat kuat sebagai lambang keselamatan, kesuburan, dan panjang umur. 
·         Seni Pertunjukan
Seni pertunjukan mempunyai pengertian yang luas karena didalamnya terkandung banyak unsur-unsur seni. Unsur-unsur seni tersebut antara lain seni musik, seni tari, seni sastra dan seni drama yang semuanya dapat dimasukan dalam kategori seni pertunjukan.
Tari kancet pepatai atau tari perang terdapat di sepanjang sungai Kayan. Tarian ini menggunakan peralatan mandau dan telaban    ( kelbit ). Tarian ini berasal dari suku Dayak Kenyah, oleh karena itu dinamakan juga tari kenya. Kancet pepatai melukiskan keberanian dan kegesitan seorang pria dalam berperang menghadapi musuh. Tarian ini dapat dibawakan secara tunggal dan dapat pula berpasangan. Instrumen musiknya disebut sampek yaitu sejenis kecapi atau kedirek, semacam terompet yang dibuat dari buah labu air kering dan bambu. Tari lain yaitu kancet ledo.  Tari lain yaitu tari hudo yakni tarian yang dimaksudkan untuk mengusir roh-roh jahat yang mengganggu tanaman dan masyrakat Dayak. Penarinya memakai topeng berbentuk kepala babi, raksasa atau muka manusia yang menyeramkan.                   
·         Seni Perhiasan
Meskipun sejak zaman dahulu Pulau Kalimantan dikenal dengan tambang emasnya, namun masyarakat dayak pada umumnya jarang menggunakan emas sebagai perhiasan. Mereka lebih banyak mempergunakan manik-manik maupun tulang sebagai bahan untuk membuat perhiasan. Mereka menganggap bahwa manik-manik lebih tinggi nilainya daripada emas. Mereka lebih senang menukar emas hasil pendulangannya kepada sultan maupun tempat-tempat penempa emas dan perak. Teknik menempah emas telah menyebar pada masyarakat yang diam dipantai. Dalam upacara tertetu seperti pesta tahun, setiap masyarakat Dayak yang menghadiri upacara diwajibkan berpakaian adat. Yang dilengkapi dengan alat perangkat perhiasan tradisional
Wujud budaya suku dayak ngaju

1.       Ide gagasan
Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang tinggal di pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan memakai nama Dayak, sebab lebih diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah “Menteng Ueh Mamut”, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak kenal menyerah atau pantang mundur.
2.       Aktivitas (tindaan)
·         Upacara Tiwah
Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.
Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).
Dunia Supranatural
Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.

·         Mangkok Merah
Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya. Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu. Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.
Mangkok merah terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain merah.
Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia.

3.       Artefak (karya)
·          Sipet / Sumpitan.Merupakan senjata utama suku dayak. Bentuknya bulat dan berdiameter 2-3 cm, panjang 1,5 – 2,5 meter, ditengah-tengahnya berlubang dengan diameter lubang ¼ – ¾ cm yang digunakan untuk memasukan anak sumpitan (Damek). Ujung atas ada tombak yang terbuat dari batu gunung yang diikat dengan rotan dan telah di anyam. Anak sumpit disebut damek, dan telep adalah tempat anak sumpitan.
·     Lonjo / Tombak. Dibuat dari besi dan dipasang atau diikat dengan anyaman rotan dan bertangkai dari bambu atau kayu keras.
·     Telawang / Perisai. Terbuat dari kayu ringan, tetapi liat. Ukuran panjang 1 – 2 meter dengan lebar 30 – 50 cm. Sebelah luar diberi ukiran atau lukisan dan mempunyai makna tertentu. Disebelah dalam dijumpai tempat pegangan.
·  Mandau. Merupakan senjata utama dan merupakan senjata turun temurun yang dianggap keramat. Bentuknya panjang dan selalu ada tanda ukiran baik dalam bentuk tatahan maupun hanya ukiran biasa. Mandau dibuat dari batu gunung, ditatah, diukir dengan emas/perak/tembaga dan dihiasi dengan bulu burung atau rambut manusia. Mandau mempunyai nama asli yang disebut “Mandau Ambang Birang Bitang Pono Ajun Kajau”, merupakan barang yang mempunyai nilai religius, karena dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Batu-batuan yang sering dipakai sebagai bahan dasar pembuatan Mandau dimasa yang telah lalu yaitu: Batu Sanaman Mantikei, Batu Mujat atau batu Tengger, Batu Montalat.
·       Dohong. Senjata ini semacam keris tetapi lebih besar dan tajam sebelah menyebelah. Hulunya terbuat dari tanduk dan sarungnya dari kayu. Senjata ini hanya boleh dipakai oleh kepala-kepala suku, Demang, Basir.




http://sinarharapan.net/2017/11/kaharingan-mesti-dipisahkan-dari-agama-hindu-di-kalimantan/



Komentar

Postingan populer dari blog ini

karakteristi Lahan Basah dan Arsitektur Vernakular Lahan Basah Kalimantan Selatan

Lahan Basah